Rupiah Pimpin Penguatan Mata Uang Asia Sore Ini


V9NEWS -  Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.665 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot, Kamis (15/11) sore. Posisi ini menguat 122 poin atau 0,82 persen dari Rabu (14/11).

Sementara kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah di posisi Rp14.764 per dolar AS atau melemah dari kemarin sore di Rp14.755 per dolar AS.

Di kawasan Asia, rupiah memimpin penguatan mata uang dari dolar AS. Setelah rupiah, peso Filipina menguat 0,75 persen, rupee India 0,46 persen, won Korea Selatan 0,45 persen, dan renminbi China 0,21 persen.


Lalu, dolar Singapura 0,21 persen, yen Jepang 0,19 persen, ringgit Malaysia 0,17 persen, dan baht Thailand 0,06 persen. Namun, dolar Hong Kong stagnan.


Begitu pula dengan mata uang utama negara maju. Rubel Rusia menguat 0,68 persen, dolar Australia 0,59 persen, franc Swiss 0,2 persen, dolar Kanada 0,15 persen, euro Eropa 0,06 persen. Hanya poundsterling Inggris yang melemah 0,97 persen dari dolar AS.

Analis sekaligus Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan penguatan rupiah pada hari ini didorong oleh sentimen luar dan dalam negeri. Dari luar negeri, pergerakan indeks dolar AS sejatinya sedang melemah karena minim sentimen positif.

Pasalnya, sentimen arah kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve yang tetap agresif (hawkish) mengerek bunga pada bulan depan sudah mulai mereda. Begitu pula dengan kelanjutan perselisihan dagang AS dengan China, menyusul rencana pertemuan pimpinan kedua negara pada akhir bulan ini.

"Politik anggaran Italia yang kemarin sempat membuat euro Eropa melemah dan dolar AS menguat, tidak lagi berdampak signifikan ke dolar AS. Begitu pula dengan sentimen dari rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (15/11).


'
Sedangkan dari dalam negeri, sentimen penguatan mata uang Garuda disebutnya datang dari rilis data neraca perdagangan. Menurutnya, meski neraca dagang kembali defisit sebesar US$1,82 miliar pada Oktober 2018, namun, nominal defisit tak sedalam kekhawatiran pasar.

"Tadinya beberapa analis dan pelaku pasar berekspektasi defisit dagang bisa sampai US$2 miliar. Artinya, rilis defisit neraca perdagangan tadi masih lebih rendah dari ekspektasi pasar," katanya.

Selain itu, penguatan rupiah juga ditopang hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang kembali mengerek tingkat bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen. Meski, ia menilai keputusan bank sentral nasional ini hanya akan menguatkan rupiah secara sementara.

Sedangkan untuk jangka panjang, keputusan ini justru bisa berdampak negatif pada ekonomi Indonesia. "Karena ini terlalu cepat, seharusnya bulan depan seperti The Fed. Ini akan memberi dampak ke pinjaman dan leasing," terangnya.

Sumber : CNN.Indonesia'


Post a Comment

0 Comments